SEJARAH NASIONAL INDONESIA IV
PERSATUAN
BANGSA INDONESIA (PBI), PARTAI INDONESIA RAYA (PARINDRA), DAN GERAKAN INDONESIA
RAYA (GERINDO)
Tindakan keras
pemerintah kolonial terhadap PNI pada tahun 1929 dengan menangkap
pemimpin-pemimpinnya yang dicurigai akan melakukan suatu pemberontakan,
merupakan tanda bahwa masa radikal bagi pergerakan nasional mendekati masa
akhir. Kiris ekonomi dunia juga ikut mempengaruhi ekonomi Hindia Belanda saat
itu. Karena itu kebijaksanaan pemerintah di bidang politik juga terpengaruh dan
terhadap kegiatan partai-partai politik Indonesia yang dipandang radikal dapat
menggangu tindakan-tindakan untuk menganggulangi krisis eknomi, maka dilakukan
pembatasan dan pengawasan yang lebih ketat. Apalagi semenjak Gubernur Jenderal
deJonge ditugaskan untuk mengendalikan pemerintahan, terutama di bidang ekonomi
Hindia Belanda, dikenal sebagai orang yang konservatif bahkan reaksioner. Meletusnya
pemberontakan di atas kapal perang de Zeven Provincien pada 1933 sebagai protes
atas gaji yang terlalu kecil, yang menyebabkan pemerintah kolonial mengambil
sikap yang lebih keras lagi terhadap partai non-kooperasi karena khawatir
pemimpin nasionalis di dalam keadaan krisis ekonomi akan menghasut rakyat untuk
memberontak.
Sukarno ditangkap pada bulan Agustus 1933 dan tidak ada
pemeriksaan pengadilan umum, dia diasingkan ke Flores, namun pada tahun 1938
dia dipindahkan ke Bengkulu dimana keadaannya lebih baik. Pada bulan Februari
1934, Sjahrir dan pemimpin-pemimpin PNI-Baru lainnya ditangkap dan kemudian
diasingkan ke Boven Digul (pada tahun 1936, Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke
Banda). Dengan hilangnya pemimpin-pemipin mereka dan semakin meningkatnya
gangguan dari pihak kepolisisan maka gerakan-gerakan nasionalis “sekuler”
menjadi semakin lemah. Partindo dan PNI-Baru, serta gerakan-gerakan Islam yang
anti penjajahan, Permi dan PSII. Dengan wafatnya Tjokroaminoto pada Desember
1934 maka gerakan politik Islam kehilangan pemimpin yang pertama dan terkemuka,
serta mulai terpecah-pecah dan membuat kelompok baru lagi (Ricklefs, 2007: ).
Dari proses perkembangan kedua partai tersebut, bisa dilihat
bahwa pemerintah kolonial meskipun bertindak keras namun sama sekali tidak
menghancurkannya. Meskipun demikian tindakan keras terhadap partai
non-kooperasi menyebabkan partai-partai kecil dan menjalankan kooperasi terkena
pengaruh. Mereka berpendapat bahwa sikap non-kooperasi tidak dapat dilanjutkan
dalam kondisi politik waktu itu, karena kalau diteruskan hanya akan merugikan
perjuangan. Akhirnya timbul suara-suara agar mengubah taktik perjuangan. Untuk
memperkuat barisan, dua organisasi yaitu Budi Utomo dan Persatuan Bangsa
Indonesia (PBI) menyatukan diri menjadi organisasi yang lebih besar untuk
tampil ke depan dan menggantikan partai-partai non-kooperasi dan diberi nama
Partai Indonesia Raya (Parindra), selain itu Partai Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) juga tampil sebagai
organisasi yang melakukan taktik kooperatif dengan pemerintah. Melalui
partai-partai ini, pergerakan nasional Hindia Belanda menuju ke pergerakan
kooperasi atau melakukan kerja sama dengan pemerintah Belanda.
A. Persatuan
Bangsa Indonesia
a.
Indonesische Studie Club (ISC)
Pada tahun 1924 dr. Soetomo mendirikan
Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan wadah bagi kaum terpelajar
Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, koperasi dan
sebagainya.
Pada awalnya merupakan sebuah perkumpulan kaum terpelajar
yang bekerja di Surabaya saja, kemudian mempunyai pengaruh cukup luas. Satu
tahun setelah berdiri, mengadakan Interinsulaire Vag atau Hari Nusantara di
Surabaya, yang merupakan pertemuan besar antara berbagai suku bangsa, seperti
Jawa, Madura, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dll. Tujuan
utamanya adalah menyebarluaskan prinsip-prinsip persatuan dan solidaritas
Indonesia. Dr. Sutomo adalah perintis Indonesische Studie Club. Rapat
pembentukan organisasi ini diadakan di rumah RM Hariyo Suroyo di Jl. Sudirman
No 35 Jakarta, yang dihadiri oleh sekitar 25 orang cendekiawan, antara lain
Sunaryo, Sunyoto, Mr. Kusnun, dr. Saleh, serta beberapa orang Belanda, ternyata
organisasi ini tampak begitu Jawa Sentris bagi Sutomo, maka untuk mempertegas
idenya tentang Indonesische Vereniging, pada 1925 Sutomo keluar dari Budi
Utomo.
Indonesische Studiedub mempunyai misi untuk mendorong kaum
terpelajar di kalangan orang-orang pribumi supaya memupuk kesadaran hidup
bermasyarakat, pengetahuan politik, mendiskusikan masalah-masalah nasional dan
sosial, serta bekerja sama untuk membangun Indonesia. Kelompok studi ini
merupakan usaha nyata bekas anggota-anggota Perhimpunan Indonesia (PI) yang
kembali ke tanah air untuk merealisasikan ide-ide mereka tentang pembangunan
Indonesia, yang telah terbentuk dan berkembang ketika mereka masih aktif dalam
organisasi PI di Negeri Belanda. Terbentuknya Indonesische Studiedub ini
merangsang dibentuknya kelompok-kelompok studi di tempat lain, seperti di
Bandung, Yogyakarta, Jakarta, Semarang, dan Solo. Selain ISC, kelompok studi
yang paling aktif adalah Algemene Studiclub di Bandung.
Di bidang penerbitan, ISC menerbitkan sebuah majalah yang
bernama Sulah Indonesia. Majalah ini kemudian disatukan dengan majalah Algemene
Sudieclab di Bandung dengan nama Sulah Indonesia Muda. Pada saat ISC
mempropagandakan persatuan Indonesia, kehidupan rakyat Indonesia sedang sangat
tertekan. Politik penghematan yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda
sejak tahun 1920-an ternyata mempunyai pengaruh buruk terhadap kehidupan
masyarakat. Dalam situasi seperti iniIndonesische Studieclub juga
melakukan kegiatan sosial-ekonomi yang bertujuan untuk meringankan penderitaan
rakyat.
Asrama-asrama pelajar didirikan, Vrouwenhuis (Wisma Wanita)
juga didirikan guna menampung wanita-wanita tuna susila untuk diberi
ketrampilan sebagai bekal mencari nafkah yang halal. Sekolah pertenunan
diselenggarakan. Selain itu, pada bulan Maret 1926 Bank Bumiputra didirikan.
Karena keberhasilan bank ini, pada kongres PPPKl (federasi organisasi
pergerakan tempat ISC juga ikut bergabung) bulan September 1928, Bank Bumiputra
kemudian diubah menjadi Bank Nasional Indonesia. ISC merintis pula berdirinya
koperasi, baik koperasi konsumsi maupun koperasi produksi. Atas usaha
organisasi ini, koperasi-koperasi kecil yang ada dihimpun dalam Persatuan
Koperasi Indonesia (PCI).
Setelah penangkapan
Sukarno oleh pihak pemerintah Belanda ternyata mendatangkan reaksi dari
berbagai pemimpin politik di Hindia Belanda. Pemerintah Belanda semakin gencar
memberikan tekanan terhadap organisasi-organisasi non-kooperatif, apalagi ISC
merupakan organisasi yang sangat dicurigai oleh pemerintah Belanda. Akhirnya
pada Oktober 1930 di Surabaya, dr. Sutomo mereorganisasi Studieclubnya dan
mengubahnya menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) (Ricklefs, 2007: 284).
Anggaran dasar organisasi diubah, sehingga anggota
organisasi tidak lagi terbatas pada kaum terpelajar, tetapi juga kepada
masyarakat umum. Dalam anggaran dasar dicanturnkan pula bahwa PBI bertujuan
mencapai kebahagiaan yang sempurna bagi tanah air dan rakyat Indonesia atas
dasar nasionalisme Indonesia. PBI berpendapat rakyat Indonesia telah sadar akan
kedudukanya dan mempunyai hasrat kuat memperbaiki kedudukanya. Program kerja
PBI sendiri menekankan pemberian perlindungan, penerangan, dan pimpinan. Pada
tahun 1935, bersama-sama dengan Budi Utomo yang lebih dahulu membubarkan diri
PBI menjelma menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) dengan dr. Sutomo sebagai
ketuanya.
Di Jawa Timur organisasi ini berdalih ke bidang-bidang
kegiatan ekonomi dan sosial, seperti mendirikan balai-balai pengobatan, as rama-asrama
mahasiswa, bank-bank desa, biro-biro penasihat, dan lain-lain.
kegiatan-kegiatan di organisasi ini serupa dengan kegiatan yang dilakukan oleh
organisasi-organisasi Islam, jadi PBI ini adalah organisasi yang bergerak di bidang
sosial dan ekonomi (Ricklefs, 2007: 284).
Setelah tahun 1934 gerakan anti
kolonialisme radikal yang didasarkan pada asas non-kooperasi benar-benar padam,
namun metode-metode yang bersifat kooperasi ternyata belum sepenuhnya hilang. Mereka
berpendapat bahwa sikap non-kooperasi, karena kalau diteruskan hanya akan
merugikan perjuangan. Untuk memperkuat barisan, mereka menyatukan diri (fusi)
ke dalam suatu organisasi yang lebih besar untuk tampil menggantikan
partai-partai non-kooperasi. Lalu dibentuklah partai baru yaitu Partai Indonesia
Raya (Parindra) yang merupakan hasil fusi antara Budi Utomo dan Persatuan
Bangsa Indonesia (PBI) (Ricklefs, 2007: 289).
Parindra dibentuk dalam kongres fusi
pada tanggal 24-26 Desember 1935 di Solo dan dipilihlah dr. Sutomo sebagai
ketua dan Surabaya ditetapkan sebagai pusat partai. Sarekat Sumatera dan
Sarekat Selebes juga menggabungkan diri ke dalam Parindra. Tujuan partai
sebagai disebutkan dalam anggaran dasar ialah “Indonesia Raya”, dan ini hendak
dicapai dengan memperkokoh kebangsaaan; berjuang untuk memperoleh suatu
pemerintahan yang berdasarkan demokrasi dan nasionalisme, dan berusaha
meningkatkan kesejahteraan rakyat baik di bidang ekonomi maupun sosial.
Terhadap pemerintah colonial, Parindra tidak bersikap kooperasi tapi juga tidak
non-kooperasi, dan karena itu Parindra mempunyai wakil-wakil dalam Volksraad
dan mengambil sikap sesuai dengan situasi sidang (Notosusanto, 1992: 95).
Permasalahan
yang terjadi dalam tubuh partai Partindo adalah ketika Partindo menggunakan
suatu daftar usaha, lengkap mengenai hal-hal sosial, ekonomi dan politik yang
semuanya harus menyamakan semua derajat untuk menuju Republik Indonesia. Tetapi
pemerintah Kolonial Belanda melakukan tindakan dengan memperkeras pengawasan
polisi dalam rapat-rapat yang diadakan Partindo, memberikan larangan bagi
pegawai negeri untuk menjadi anggota partai, larangan untuk mengadakan
persidangan di seluruh Indonesia, menangkap Ir. Soekarno, penangkapan tersebut
menyebabkan Partindo masuk pada masa dimana tidak ada kegiatan yang dilakukan
sehingga banyak Partai Politik yang menyuarakan agar Partindo dibubarkan.
Dengan dibubarkannya partai Partindo dan dimintanya berdiri partai yang baru
membuat ketua Partindo yaitu Sartono dengan dibantu oleh Sanusi Pane dan Moh
Yamin kembali membuat organisasi pergerakan yang baru yaitu organisasi yang
mereka beri nama Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Tidak lama
sesudah Partindo bubar, anggota yang tidak setuju pembubaran membentuk partai
Gerakan Rakyat Indonesia atau yang dikenal dengan sebutan Gerindo pada tanggal
24 Mei 1937. Seuai dengan situasi,
Gerindo melakukan taktik kooperasi dengan pemerintah. Tujuannya adalah untuk
mencapai kemerdekaan politik ekonomi dan sosial (Notosusanto, 1992: 95).
Organisasi
ini mencakup kaum radikal seperti Mr. Moh Yamin dan orang lain yang kelak akan
menjadi Perdana Menteri RI, seorang Batak beragama Kristen yang beraliran kiri,
Amir Sjarifuddin (1907-1948). Selain itu ada pula pemimpinnya yang terkenal
antara lain dr. A.K. Gani, Mr. Sartono, dan Mr. Wilopo (Ricklefs, 2007: 289).
Tujuan partai
ini masih sama dengan partai Indonesia namun bedanya partai Gerindo ini
menjunjung azas kooperatif atau bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda,
tetapi tetap bersikap tegas terhadap pemerintah Belanda, sebagai perkumpulan
untuk masyarakat umum yang berusaha mencapai bentuk pemerintahan negara
berdasarkan kemerdekaan di bidang politik, sosial, dan ekonomi. Dengan lahirnya
Gerindo disambut Gembira oleh para bekas anggota Partindo. Dalam waktu yang
singkat mereka mendirikan cabang-cabang Gerindo yang tersebar hampir merata di
seluruh Indonesia.
Dengan
lahirnya Partai Gerindo maka lahirlah partai sayap kiri Pergerakan Nasional
dengan wajah yang berbeda yaitu Kooperatif, dengan azas kebangsaan dan
kerakyatan untuk mencapai Kemerdekaan Nasional, yang tidak membeda-bedakan
seseorang melalui status sosialnya dan menganggap semuanya sama.
Untuk mencapai
tujuannya partai Gerindo membimbing rakyat agar bisa mencapai tujuan yang
mereka harapkan, hingga masyarakat sampai pada tingkat keinsyafan politik,
sosial, dan ekonomi. Terutama di bidang politik karena mereka menganggap bidang
politik adalah bidang yang mampu membawa rakyat kepada tatanan ekonomi dam
sosial yang utama. Gerindo menjunjung tinggi Demokrasi yang menggambarkan
tujuan politik sebagai suatu parlemen yang sepenuhnya bertanggung jawab kepada
masyarakat Indionesia, tujuan ekonomi sebagai susunan ekonomi yang berdasarkan
kooperasi di bawah pengawasan negara. Tujuan sosial sebagai suatu pandangan
hidup berdasarkan hak dan kewajiban yang sama antara semua masyarakat.
Partai
Gerindo lebih bersifat fleksibel terhadap pemerintah, Amir Syarifuddin merupakan
salah sorang tokoh yang merupakan pendiri Gerindo yang mengalihkan haluan
partai politik ini dari haluan non-kooperatif menjadi partai yang berhaluan
kooperatif. Gerindo merupakan tempat berkumpulnya golongan kiri dan dalam hal
ini Amir Syarifuddin mengambil bidang pers dan pendidikan. Karena sejak
berdirinya Gerindo berpandangan bahwa faktor utama penyebab ketegangan situasi
Internasional pada saat itu adalah pertarungan di antara kekuatan kelompok
demokratis dengan kelompok fasis. Jadi menurut mereka untuk memerangi fasisme,
karena Belanda dan Indonesia sama-sama menganut paham Demokratis harus bersatu
atas dasar kesamaan pokok tanpa harus mempermasalahkan perselisihan-
perselisihan kecil, jadi perbedaan yang terdapat pada paham fasisme dengan paham
demokratis adalah jauh lebih besar dari pada perbedaan warna kulit, oleh karena
itu partai Gerindo tidak mempermasalahkan warna kulit dan mereka mau menerima
etnis Tionghoa menjadi anggota Gerindo.
Dalam
mencapai tujuannya partai Gerindo mengadakan beberapa kongres diantaranya
kongres Gerindo yang pertama diadakan di Jakarta pada tanggal 20 samapai 24
Juli 1938 kongres ini dilaksanakan sebagai bentuk dari kerja nyata suatu
organisasi pergerakan yang peduli terhadap perubahan sosial masyarakat pribumi.
Dalam hal ini Amir Syarifuddi juga menyumbangkan pemikirannya yang digunakan
untuk slogan spanduk yaitu "Oposisi Loyal" dan sejak saat itu tujuan
partai bukan lagi partai itu sendiri tetapi Demokrasi dan diperbolehkan
anggotanya untuk berpartisipasi dalam institusi kolonial. Kongres yang diadakan
di Jakarta tersebut menghasilkan pembentukan PERI (penuntun Ekonomi Rakyat
Indonesia) yaitu perkumpulan ekonomi berdasarkan Demokratis Nasionalisme.
Program kerjanya diantaranya yaitu memperbaiki harga-harga hasil bumi dan
menurunkan harga-harga barang keperluan rakyat dan perluasan kesempatan kerja.
Partai
Gerindo tidak hanya mengadakan satu kali kongres saja, apabila kongresnya yang
pertama diadakan di kota Jakarta tetapi tidak sama halnya dengan kongresnya
yang kedua, kongres Gerindo yang kedua di adakan di kota lain yaitu di kota
palembang. Kongres yang diadakan di Palembang yaitu pada tanggal 1 dan 2
Agustus 1939, pada kongres kedua yang diadakan oleh Gerindo yang menjadi tuan
rumahnya adalah Gerindo cabang Palembang dan disambut dengan antusias oleh
gerindo cabang Palembang.
Dalam kongres
yang diadakan di Palembang ini diambil keputusan berupa penerimaan peranakan
baik itu keturunan Eropa, tionghoa, maupun peranakan Arab, untuk menjadi
anggota partai Gerindo. Selain penerimaan peranakan dalam kongres ini juga di
ambil keputusan mengenai batas upah yang rendah dan tunjangan bagi para
pengangguran, keputusan ini diambil dalam rangka menyetujui masuknya partai
Gerakan Rakyat Indonesia ke dalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia).
Setelah
kongres yang pertama dan kedua, masih ada kongres yang diadakan oleh partai
Gerindo yaitu kongres yang ke tiga yang dilaksanakan pada tanggal 10 sampai 12
Oktober 1941. Dalam kongres ketiga yang diadakan oleh Gerindo ini diputuskan bahwa
Gerindo hendak mendirikan sebuah partai yaitu Partai Buruh Politik Indonesia
yang baru. Akan tetapi rencana tersebut tidak terealisasikan karena sudah ada
partai Gerindo, hal tersebut dilakukan karena menurut mereka Gerindo bukan
hanya sekedar partai polik saja tetapi Gerindo berusaha untuk mencapai suatu
bentuk masyarakat yang memiliki bukan hanya demokrasi politik saja tetapi juga
demokrasi di bidang ekonomi dan sosialnya.
Dari kongres
yang ketiga ini juga diambil keputusan untuk membebaskan pemimpin Indonesia
yang sudah diasingkan. Kita melihat bahwasanya yang di fokuskan oleh Partai
Gerindo adalah kemenangan di bidang politik, karena menurut mereka kemenangan
di bidang politik merupakan jalan untuk kemenangan di bidang lainnya. Tetapi
walaupun demikian bidang ekonomi juga tidak bisa dilupakan karena ekonomi ikut
menunjang bidang politik, susunan ekonomi yang baik akan sangat berpengaruh
terhadap bidang politik dan sosial. Sehingga membuat hubungan antara politik,
ekonomi, dan sosial menjadi tali penghubung yang saling terkait satu dengan
yang lainnya sehingga sangat sulit untuk dipisahkan.
Meskipun
perkembangan partai Gerindo mengalami kemajuan yang pesat dalam mencapai
tujuannya tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa Gerindo akan memiliki nasib yang
sama dengan partai yang lainnya yaitu terjadi konflik dalam batang tubuh Partai
Gerindo. Konflik yang terjadi dalam tubuh Partai Gerindo dimulai ketika Moh.
Yamin mencalonkan diri sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia- Belanda)
untuk mewakili golongan Minangkabau yang tidak mau bekerja sama dengan Gerindo.
Pencalonan tersebut menimbilkan keonaran dalam partai Gerindo sehingga membuat
pengurus besar mengadakan pemecatan sementara terhadap Muh. Yamin.
Ternyata
keputusan yang diambil oleh Muh. Yamin membuatnya tidak menyadari bahwa dia
telah masuk ke dalam jebakan pemerintah Hindia Belanda, yaitu dijadikan sebagai
alat untuk memecah belah barisan kulit berwarna. Permohonan Muh. Yamin memang
dikabulkan sebagai anggota Volksraad tetapi dengan masuknya beliau sebagai
anggota Volksraad membuat dirinya dipecat dari keanggotaan Gerindo secara tidak
hormat dan dianggap sebagai suatu bentuk penghianatan terhadap partai Gerindo.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Notosusanto, Nugroho. 1992. Sejarah Nasional Indonesia 3. Depdikbud: Jakarta
Ricklefs,
M. C. 2007. Sejarah Indonesia Modern.
Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Sumber internet:
http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/974/Indonesische-Studieclub-ISC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar