Minggu, 10 Mei 2015

PERSATUAN BANGSA INDONESIA (PBI), PARTAI INDONESIA RAYA (PARINDRA), DAN GERAKAN INDONESIA RAYA (GERINDO)






 
SEJARAH NASIONAL INDONESIA IV

PERSATUAN BANGSA INDONESIA (PBI), PARTAI INDONESIA RAYA (PARINDRA), DAN GERAKAN INDONESIA RAYA (GERINDO)







Tindakan keras pemerintah kolonial terhadap PNI pada tahun 1929 dengan menangkap pemimpin-pemimpinnya yang dicurigai akan melakukan suatu pemberontakan, merupakan tanda bahwa masa radikal bagi pergerakan nasional mendekati masa akhir. Kiris ekonomi dunia juga ikut mempengaruhi ekonomi Hindia Belanda saat itu. Karena itu kebijaksanaan pemerintah di bidang politik juga terpengaruh dan terhadap kegiatan partai-partai politik Indonesia yang dipandang radikal dapat menggangu tindakan-tindakan untuk menganggulangi krisis eknomi, maka dilakukan pembatasan dan pengawasan yang lebih ketat. Apalagi semenjak Gubernur Jenderal deJonge ditugaskan untuk mengendalikan pemerintahan, terutama di bidang ekonomi Hindia Belanda, dikenal sebagai orang yang konservatif bahkan reaksioner. Meletusnya pemberontakan di atas kapal perang de Zeven Provincien pada 1933 sebagai protes atas gaji yang terlalu kecil, yang menyebabkan pemerintah kolonial mengambil sikap yang lebih keras lagi terhadap partai non-kooperasi karena khawatir pemimpin nasionalis di dalam keadaan krisis ekonomi akan menghasut rakyat untuk memberontak.
Sukarno ditangkap pada bulan Agustus 1933 dan tidak ada pemeriksaan pengadilan umum, dia diasingkan ke Flores, namun pada tahun 1938 dia dipindahkan ke Bengkulu dimana keadaannya lebih baik. Pada bulan Februari 1934, Sjahrir dan pemimpin-pemimpin PNI-Baru lainnya ditangkap dan kemudian diasingkan ke Boven Digul (pada tahun 1936, Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda). Dengan hilangnya pemimpin-pemipin mereka dan semakin meningkatnya gangguan dari pihak kepolisisan maka gerakan-gerakan nasionalis “sekuler” menjadi semakin lemah. Partindo dan PNI-Baru, serta gerakan-gerakan Islam yang anti penjajahan, Permi dan PSII. Dengan wafatnya Tjokroaminoto pada Desember 1934 maka gerakan politik Islam kehilangan pemimpin yang pertama dan terkemuka, serta mulai terpecah-pecah dan membuat kelompok baru lagi (Ricklefs, 2007:  ).
Dari proses perkembangan kedua partai tersebut, bisa dilihat bahwa pemerintah kolonial meskipun bertindak keras namun sama sekali tidak menghancurkannya. Meskipun demikian tindakan keras terhadap partai non-kooperasi menyebabkan partai-partai kecil dan menjalankan kooperasi terkena pengaruh. Mereka berpendapat bahwa sikap non-kooperasi tidak dapat dilanjutkan dalam kondisi politik waktu itu, karena kalau diteruskan hanya akan merugikan perjuangan. Akhirnya timbul suara-suara agar mengubah taktik perjuangan. Untuk memperkuat barisan, dua organisasi yaitu Budi Utomo dan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) menyatukan diri menjadi organisasi yang lebih besar untuk tampil ke depan dan menggantikan partai-partai non-kooperasi dan diberi nama Partai Indonesia Raya (Parindra), selain itu Partai Gerindo  (Gerakan Rakyat Indonesia) juga tampil sebagai organisasi yang melakukan taktik kooperatif dengan pemerintah. Melalui partai-partai ini, pergerakan nasional Hindia Belanda menuju ke pergerakan kooperasi atau melakukan kerja sama dengan pemerintah Belanda.


A. Persatuan Bangsa Indonesia
a.  Indonesische Studie Club (ISC)
Pada tahun 1924 dr. Soetomo mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, koperasi dan sebagainya.
Pada awalnya merupakan sebuah perkumpulan kaum terpelajar yang bekerja di Surabaya saja, kemudian mempunyai pengaruh cukup luas. Satu tahun setelah berdiri, mengadakan Interinsulaire Vag atau Hari Nusantara di Surabaya, yang merupakan pertemuan besar antara berbagai suku bangsa, seperti Jawa, Madura, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dll. Tujuan utamanya adalah menyebarluaskan prinsip-prinsip persatuan dan solidaritas Indonesia. Dr. Sutomo adalah perintis Indonesische Studie Club. Rapat pembentukan organisasi ini diadakan di rumah RM Hariyo Suroyo di Jl. Sudirman No 35 Jakarta, yang dihadiri oleh sekitar 25 orang cendekiawan, antara lain Sunaryo, Sunyoto, Mr. Kusnun, dr. Saleh, serta beberapa orang Belanda, ternyata organisasi ini tampak begitu Jawa Sentris bagi Sutomo, maka untuk mempertegas idenya tentang Indonesische Vereniging, pada 1925 Sutomo keluar dari Budi Utomo.
Indonesische Studiedub mempunyai misi untuk mendorong kaum terpelajar di kalangan orang-orang pribumi supaya memupuk kesadaran hidup bermasyarakat, pengetahuan politik, mendiskusikan masalah-masalah nasional dan sosial, serta bekerja sama untuk membangun Indonesia. Kelompok studi ini merupakan usaha nyata bekas anggota-anggota Perhimpunan Indonesia (PI) yang kembali ke tanah air untuk merealisasikan ide-ide mereka tentang pembangunan Indonesia, yang telah terbentuk dan berkembang ketika mereka masih aktif dalam organisasi PI di Negeri Belanda. Terbentuknya Indonesische Studiedub ini merangsang dibentuknya kelompok-kelompok studi di tempat lain, seperti di Bandung, Yogyakarta, Jakarta, Semarang, dan Solo. Selain ISC, kelompok studi yang paling aktif adalah Algemene Studiclub di Bandung.
Di bidang penerbitan, ISC menerbitkan sebuah majalah yang bernama Sulah Indonesia. Majalah ini kemudian disatukan dengan majalah Algemene Sudieclab di Bandung dengan nama Sulah Indonesia Muda. Pada saat ISC mempropagandakan persatuan Indonesia, kehidupan rakyat Indonesia sedang sangat tertekan. Politik penghematan yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1920-an ternyata mempunyai pengaruh buruk terhadap kehidupan masyarakat. Dalam situasi seperti iniIndonesische Studieclub juga melakukan kegiatan sosial-ekonomi yang bertujuan untuk meringankan penderitaan rakyat.
Asrama-asrama pelajar didirikan, Vrouwenhuis (Wisma Wanita) juga didirikan guna menampung wanita-wanita tuna susila untuk diberi ketrampilan sebagai bekal mencari nafkah yang halal. Sekolah pertenunan diselenggarakan. Selain itu, pada bulan Maret 1926 Bank Bumiputra didirikan. Karena keberhasilan bank ini, pada kongres PPPKl (federasi organisasi pergerakan tempat ISC juga ikut bergabung) bulan September 1928, Bank Bumiputra kemudian diubah menjadi Bank Nasional Indonesia. ISC merintis pula berdirinya koperasi, baik koperasi konsumsi maupun koperasi produksi. Atas usaha organisasi ini, koperasi-koperasi kecil yang ada dihimpun dalam Persatuan Koperasi Indonesia (PCI).

b. Perubahan Nama ISC ke PBI
Setelah penangkapan Sukarno oleh pihak pemerintah Belanda ternyata mendatangkan reaksi dari berbagai pemimpin politik di Hindia Belanda. Pemerintah Belanda semakin gencar memberikan tekanan terhadap organisasi-organisasi non-kooperatif, apalagi ISC merupakan organisasi yang sangat dicurigai oleh pemerintah Belanda. Akhirnya pada Oktober 1930 di Surabaya, dr. Sutomo mereorganisasi Studieclubnya dan mengubahnya menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) (Ricklefs, 2007: 284).
Anggaran dasar organisasi diubah, sehingga anggota organisasi tidak lagi terbatas pada kaum terpelajar, tetapi juga kepada masyarakat umum. Dalam anggaran dasar dicanturnkan pula bahwa PBI bertujuan mencapai kebahagiaan yang sempurna bagi tanah air dan rakyat Indonesia atas dasar nasionalisme Indonesia. PBI berpendapat rakyat Indonesia telah sadar akan kedudukanya dan mempunyai hasrat kuat memperbaiki kedudukanya. Program kerja PBI sendiri menekankan pemberian perlindungan, penerangan, dan pimpinan. Pada tahun 1935, bersama-sama dengan Budi Utomo yang lebih dahulu membubarkan diri PBI menjelma menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) dengan dr. Sutomo sebagai ketuanya.
          Di Jawa Timur organisasi ini berdalih ke bidang-bidang kegiatan ekonomi dan sosial, seperti mendirikan balai-balai pengobatan, as rama-asrama mahasiswa, bank-bank desa, biro-biro penasihat, dan lain-lain. kegiatan-kegiatan di organisasi ini serupa dengan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam, jadi PBI ini adalah organisasi yang bergerak di bidang sosial dan ekonomi (Ricklefs, 2007: 284).

 
B. Parindra (Partai Indonesia Raya)
            Setelah tahun 1934 gerakan anti kolonialisme radikal yang didasarkan pada asas non-kooperasi benar-benar padam, namun metode-metode yang bersifat kooperasi ternyata belum sepenuhnya hilang. Mereka berpendapat bahwa sikap non-kooperasi, karena kalau diteruskan hanya akan merugikan perjuangan. Untuk memperkuat barisan, mereka menyatukan diri (fusi) ke dalam suatu organisasi yang lebih besar untuk tampil menggantikan partai-partai non-kooperasi. Lalu dibentuklah partai baru yaitu Partai Indonesia Raya (Parindra) yang merupakan hasil fusi antara Budi Utomo dan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) (Ricklefs, 2007: 289).
            Parindra dibentuk dalam kongres fusi pada tanggal 24-26 Desember 1935 di Solo dan dipilihlah dr. Sutomo sebagai ketua dan Surabaya ditetapkan sebagai pusat partai. Sarekat Sumatera dan Sarekat Selebes juga menggabungkan diri ke dalam Parindra. Tujuan partai sebagai disebutkan dalam anggaran dasar ialah “Indonesia Raya”, dan ini hendak dicapai dengan memperkokoh kebangsaaan; berjuang untuk memperoleh suatu pemerintahan yang berdasarkan demokrasi dan nasionalisme, dan berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat baik di bidang ekonomi maupun sosial. Terhadap pemerintah colonial, Parindra tidak bersikap kooperasi tapi juga tidak non-kooperasi, dan karena itu Parindra mempunyai wakil-wakil dalam Volksraad dan mengambil sikap sesuai dengan situasi sidang (Notosusanto, 1992: 95).

 C.
Partai Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia)
          Permasalahan yang terjadi dalam tubuh partai Partindo adalah ketika Partindo menggunakan suatu daftar usaha, lengkap mengenai hal-hal sosial, ekonomi dan politik yang semuanya harus menyamakan semua derajat untuk menuju Republik Indonesia. Tetapi pemerintah Kolonial Belanda melakukan tindakan dengan memperkeras pengawasan polisi dalam rapat-rapat yang diadakan Partindo, memberikan larangan bagi pegawai negeri untuk menjadi anggota partai, larangan untuk mengadakan persidangan di seluruh Indonesia, menangkap Ir. Soekarno, penangkapan tersebut menyebabkan Partindo masuk pada masa dimana tidak ada kegiatan yang dilakukan sehingga banyak Partai Politik yang menyuarakan agar Partindo dibubarkan. Dengan dibubarkannya partai Partindo dan dimintanya berdiri partai yang baru membuat ketua Partindo yaitu Sartono dengan dibantu oleh Sanusi Pane dan Moh Yamin kembali membuat organisasi pergerakan yang baru yaitu organisasi yang mereka beri nama Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
          Tidak lama sesudah Partindo bubar, anggota yang tidak setuju pembubaran membentuk partai Gerakan Rakyat Indonesia atau yang dikenal dengan sebutan Gerindo pada tanggal 24 Mei 1937.  Seuai dengan situasi, Gerindo melakukan taktik kooperasi dengan pemerintah. Tujuannya adalah untuk mencapai kemerdekaan politik ekonomi dan sosial (Notosusanto, 1992: 95).
          Organisasi ini mencakup kaum radikal seperti Mr. Moh Yamin dan orang lain yang kelak akan menjadi Perdana Menteri RI, seorang Batak beragama Kristen yang beraliran kiri, Amir Sjarifuddin (1907-1948). Selain itu ada pula pemimpinnya yang terkenal antara lain dr. A.K. Gani, Mr. Sartono, dan Mr. Wilopo (Ricklefs, 2007: 289).
          Tujuan partai ini masih sama dengan partai Indonesia namun bedanya partai Gerindo ini menjunjung azas kooperatif atau bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda, tetapi tetap bersikap tegas terhadap pemerintah Belanda, sebagai perkumpulan untuk masyarakat umum yang berusaha mencapai bentuk pemerintahan negara berdasarkan kemerdekaan di bidang politik, sosial, dan ekonomi. Dengan lahirnya Gerindo disambut Gembira oleh para bekas anggota Partindo. Dalam waktu yang singkat mereka mendirikan cabang-cabang Gerindo yang tersebar hampir merata di seluruh Indonesia.
          Dengan lahirnya Partai Gerindo maka lahirlah partai sayap kiri Pergerakan Nasional dengan wajah yang berbeda yaitu Kooperatif, dengan azas kebangsaan dan kerakyatan untuk mencapai Kemerdekaan Nasional, yang tidak membeda-bedakan seseorang melalui status sosialnya dan menganggap semuanya sama.
          Untuk mencapai tujuannya partai Gerindo membimbing rakyat agar bisa mencapai tujuan yang mereka harapkan, hingga masyarakat sampai pada tingkat keinsyafan politik, sosial, dan ekonomi. Terutama di bidang politik karena mereka menganggap bidang politik adalah bidang yang mampu membawa rakyat kepada tatanan ekonomi dam sosial yang utama. Gerindo menjunjung tinggi Demokrasi yang menggambarkan tujuan politik sebagai suatu parlemen yang sepenuhnya bertanggung jawab kepada masyarakat Indionesia, tujuan ekonomi sebagai susunan ekonomi yang berdasarkan kooperasi di bawah pengawasan negara. Tujuan sosial sebagai suatu pandangan hidup berdasarkan hak dan kewajiban yang sama antara semua masyarakat.
          Partai Gerindo lebih bersifat fleksibel terhadap pemerintah, Amir Syarifuddin merupakan salah sorang tokoh yang merupakan pendiri Gerindo yang mengalihkan haluan partai politik ini dari haluan non-kooperatif menjadi partai yang berhaluan kooperatif. Gerindo merupakan tempat berkumpulnya golongan kiri dan dalam hal ini Amir Syarifuddin mengambil bidang pers dan pendidikan. Karena sejak berdirinya Gerindo berpandangan bahwa faktor utama penyebab ketegangan situasi Internasional pada saat itu adalah pertarungan di antara kekuatan kelompok demokratis dengan kelompok fasis. Jadi menurut mereka untuk memerangi fasisme, karena Belanda dan Indonesia sama-sama menganut paham Demokratis harus bersatu atas dasar kesamaan pokok tanpa harus mempermasalahkan perselisihan- perselisihan kecil, jadi perbedaan yang terdapat pada paham fasisme dengan paham demokratis adalah jauh lebih besar dari pada perbedaan warna kulit, oleh karena itu partai Gerindo tidak mempermasalahkan warna kulit dan mereka mau menerima etnis Tionghoa menjadi anggota Gerindo.
          Dalam mencapai tujuannya partai Gerindo mengadakan beberapa kongres diantaranya kongres Gerindo yang pertama diadakan di Jakarta pada tanggal 20 samapai 24 Juli 1938 kongres ini dilaksanakan sebagai bentuk dari kerja nyata suatu organisasi pergerakan yang peduli terhadap perubahan sosial masyarakat pribumi. Dalam hal ini Amir Syarifuddi juga menyumbangkan pemikirannya yang digunakan untuk slogan spanduk yaitu "Oposisi Loyal" dan sejak saat itu tujuan partai bukan lagi partai itu sendiri tetapi Demokrasi dan diperbolehkan anggotanya untuk berpartisipasi dalam institusi kolonial. Kongres yang diadakan di Jakarta tersebut menghasilkan pembentukan PERI (penuntun Ekonomi Rakyat Indonesia) yaitu perkumpulan ekonomi berdasarkan Demokratis Nasionalisme. Program kerjanya diantaranya yaitu memperbaiki harga-harga hasil bumi dan menurunkan harga-harga barang keperluan rakyat dan perluasan kesempatan kerja.
          Partai Gerindo tidak hanya mengadakan satu kali kongres saja, apabila kongresnya yang pertama diadakan di kota Jakarta tetapi tidak sama halnya dengan kongresnya yang kedua, kongres Gerindo yang kedua di adakan di kota lain yaitu di kota palembang. Kongres yang diadakan di Palembang yaitu pada tanggal 1 dan 2 Agustus 1939, pada kongres kedua yang diadakan oleh Gerindo yang menjadi tuan rumahnya adalah Gerindo cabang Palembang dan disambut dengan antusias oleh gerindo cabang Palembang.
          Dalam kongres yang diadakan di Palembang ini diambil keputusan berupa penerimaan peranakan baik itu keturunan Eropa, tionghoa, maupun peranakan Arab, untuk menjadi anggota partai Gerindo. Selain penerimaan peranakan dalam kongres ini juga di ambil keputusan mengenai batas upah yang rendah dan tunjangan bagi para pengangguran, keputusan ini diambil dalam rangka menyetujui masuknya partai Gerakan Rakyat Indonesia ke dalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia).
          Setelah kongres yang pertama dan kedua, masih ada kongres yang diadakan oleh partai Gerindo yaitu kongres yang ke tiga yang dilaksanakan pada tanggal 10 sampai 12 Oktober 1941. Dalam kongres ketiga yang diadakan oleh Gerindo ini diputuskan bahwa Gerindo hendak mendirikan sebuah partai yaitu Partai Buruh Politik Indonesia yang baru. Akan tetapi rencana tersebut tidak terealisasikan karena sudah ada partai Gerindo, hal tersebut dilakukan karena menurut mereka Gerindo bukan hanya sekedar partai polik saja tetapi Gerindo berusaha untuk mencapai suatu bentuk masyarakat yang memiliki bukan hanya demokrasi politik saja tetapi juga demokrasi di bidang ekonomi dan sosialnya.
          Dari kongres yang ketiga ini juga diambil keputusan untuk membebaskan pemimpin Indonesia yang sudah diasingkan. Kita melihat bahwasanya yang di fokuskan oleh Partai Gerindo adalah kemenangan di bidang politik, karena menurut mereka kemenangan di bidang politik merupakan jalan untuk kemenangan di bidang lainnya. Tetapi walaupun demikian bidang ekonomi juga tidak bisa dilupakan karena ekonomi ikut menunjang bidang politik, susunan ekonomi yang baik akan sangat berpengaruh terhadap bidang politik dan sosial. Sehingga membuat hubungan antara politik, ekonomi, dan sosial menjadi tali penghubung yang saling terkait satu dengan yang lainnya sehingga sangat sulit untuk dipisahkan.
          Meskipun perkembangan partai Gerindo mengalami kemajuan yang pesat dalam mencapai tujuannya tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa Gerindo akan memiliki nasib yang sama dengan partai yang lainnya yaitu terjadi konflik dalam batang tubuh Partai Gerindo. Konflik yang terjadi dalam tubuh Partai Gerindo dimulai ketika Moh. Yamin mencalonkan diri sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia- Belanda) untuk mewakili golongan Minangkabau yang tidak mau bekerja sama dengan Gerindo. Pencalonan tersebut menimbilkan keonaran dalam partai Gerindo sehingga membuat pengurus besar mengadakan pemecatan sementara terhadap Muh. Yamin.
          Ternyata keputusan yang diambil oleh Muh. Yamin membuatnya tidak menyadari bahwa dia telah masuk ke dalam jebakan pemerintah Hindia Belanda, yaitu dijadikan sebagai alat untuk memecah belah barisan kulit berwarna. Permohonan Muh. Yamin memang dikabulkan sebagai anggota Volksraad tetapi dengan masuknya beliau sebagai anggota Volksraad membuat dirinya dipecat dari keanggotaan Gerindo secara tidak hormat dan dianggap sebagai suatu bentuk penghianatan terhadap partai Gerindo.
 



DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:
Notosusanto, Nugroho. 1992. Sejarah Nasional Indonesia 3. Depdikbud: Jakarta

Ricklefs, M. C. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Sumber internet:
http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/974/Indonesische-Studieclub-ISC



Tidak ada komentar:

Posting Komentar